top of page

Tatapan

  • Writer: Aksara Jiwa
    Aksara Jiwa
  • Mar 3, 2020
  • 4 min read

Aku rasa aku akan mati sebentar lagi. Ya, aku akan mati jika ia terus menatapku dengan dua bola mata polosnya seperti itu. Aku tahu ia sedang mengajariku matematika–atau fisika, dan sesekali kimia–namun entah mengapa satu-satunya hal yang masuk ke otakku hanyalah… tidak ada. Tidak ada yang masuk ke otakku. Bahkan trik-trik mengerjakan soal yang menurutnya mudah tidak ada yang benar-benar kupahami. Ini keterlaluan. Banyak waktu telah berlalu dan bukannya memakai waktu tersebut untuk belajar, satu-satunya hal yang kulakukan dengan kesadaranku sendiri adalah menghindari tatapan matanya, yang entah mengapa, selalu membuatku cemas dan gugup. Dua bola mata itu menatapku seakan-akan sedang menembuskan laser kepada wajahku yang pastinya terlihat bingung dan canggung ini.


Risi, aku pun berusaha memecahkan tatapannya dengan menunjuk ke sana kemari dan sesekali melontarkan lelucon yang sejatinya tidak lucu, namun ia bersikeras memandangku dengan tatapan itu. Sejujurnya, aku menyukai dirinya. Itulah alasannya aku selalu mengiyakan jika ia menawarkan untuk mengajariku apa saja, juga alasan mengapa aku selalu mengeluh soal nilai-nilai ujianku yang tidak membanggakan kepadanya. Akan tetapi aku juga tidak ingin terus menerus ditatap seperti ini. Aku merasa seperti berlian di tengah barang rongsokan yang kumuh. Di awal, tentu saja aku tersanjung, namun lama kelamaan tidak ada hal lebih kuinginkan daripada menjadi salah satu barang rongsokan yang tak menarik dan diselimuti debu. Oleh karena itulah, aku memutuskan untuk menghindarinya. Persetan perasaanku terhadapnya, aku tidak kuat ditatapnya seperti itu, dan aku terlalu enggan, atau mungkin malu, untuk menyuruhnya untuk berhenti.


Namun kehidupan berkata lain. Entah mengapa semakin niat aku menjauhinya semakin sering aku dipertemukannya. Di kelas, kami tidak sengaja ditugaskan dalam satu kelompok, membuatku semakin sering melihat dua bola mata itu. Sadar bahwa aku tidak bisa menghindar selamanya, aku pun menyerah dan memutuskan untuk lebih terbuka dengannya. Ternyata ia pendengar yang baik, sungguh baik. Ketika hidupku terasa hampa dan membosankan, ia selalu mendengarkan ceritaku. Ketika aku jatuh sakit, ia pun mengunjungiku dan menemaniku mengevaluasi acara-acara televisi yang kutekuni selama aku dirawat. Sebenarnya aku sangat bersyukur akan kehadirannya dalam hidupku, namun tetap saja aku tidak dapat benar-benar sepenuhnya merasa nyaman, terutama ketika dua bola mata itu menatapku.


Jujur, aku lebih suka berbicara kepadanya melalui gawaiku daripada harus benar-benar menghadapinya. Aku benar-benar tidak tahan ditatapnya. Apakah ini karena ini kali pertamanya aku diperhatikan seseorang yang telah menawan hatiku? Apakah ia menyukaiku? Semua gerak-geriknya seolah-oleh berteriak kepadaku “ya, tentu saja ia menyukaimu,” akan tetapi ia tidak pernah mengakui perasaannya kepadaku, mengajakku pergi nonton bioskop, atau melakukan hal lain yang lebih “konkrit”. Sungguh, lama kelamaan aku merasa frustrasi, cemas tanpa henti. Ribuan pertanyaan dan ketidakpercayaan diri melandaku setiap kali ia menatapku, dan aku rasa ini tidak wajar. Aku harap ini hanyalah gejala jatuh cinta yang konyol, tidak lebih.


Keesokan harinya, tanpa kusangka-sangka, di tengah-tengah kantin yang ramai dan bising, ia pun menghampiriku dengan gugup.


“Apakah kau bersedia untuk menonton film denganku akhir pekan ini?” tanyanya sambil menyembunyikan tangannya. Dengan seketika aku merasa puluhan tatapan menyerangku, membuatku lima juta kali lebih cemas dan gugup. Aku pun menariknya ke tempat yang lebih sepi sementara teman-temanku menyoraki kami dengan berbagai macam ledekan.


“Mengapa harus di depan semua orang?” tanyaku sebal.


“Maaf, entah mengapa aku begitu tidak sabar,” jawabnya pelan.


“Kau pikir aku tega berkata tidak? Aku lihat kau sudah membeli tiketnya!” jawabku dan mengambil tiket yang ia sembunyikan. Jantungku terasa berhenti berdetak ketika melihat judul film yang tertera pada tiket.


“Jadi… apakah kau bersedi–”


“Tentu saja!” jawabku dengan lantang. Mungkin terlalu lantang dan semangat. “Sampai jumpa Sabtu ini.”


Hari Sabtu pun tiba, walau lebih lama dari yang kuharapkan. Aku sudah mempersiapkan semuanya dari hari-hari sebelumnya, mulai dari pakaian yang harus kupakai sampai topik-topik obrolan yang dapat mencairkan suasana. Tepat pada pukul 11 siang, ia menjemputku dengan mobil antiknya dan kami melaju ke bioskop. Tanpa disangka, jalanan begitu macet, sehingga kami tidak memiliki waktu untuk membeli makanan ringan ketika kami sampai.

Film pun dimulai. Aku yang sangat mengantisipasikan film tersebut pun duduk diam, mencoba untuk fokus kepada dialog dan cerita. Namun semua usaha untuk melakukan itu gagal. Kedua bola mata itu menatapku lagi, kali ini lebih intens dan bergairah, mematikan segala usahaku untuk tetap fokus.


“Mengapa kau selalu menatapku?” bisikku pada akhirnya, tidak kuat. Kedua bola mata itu pun bertemu dengan mataku, membuatku semakin bereaksi dengan canggung dan kaku.


“Tidak apa-apa,” jawabnya, masih tetap memandangku dengan amat sangat.


“Aku merasa risi. Tolong hentikan,” pintaku.


“Baiklah,” jawabnya, namun sama sekali tidak mengalihkan tatapannya dariku. Kedua bola mata itu semakin membesar, seolah-olah mengejek segala usahaku untuk menghindarinya.


“Aku tidak bisa fokus pada filmnya. Kumohon hentikan,” pintaku sekali lagi.


“Baiklah,” jawabnya sekali lagi. Alih-alih mengalihkan pandanganya, ia malah membelai wajahku dan mendekatkan wajahnya kepadaku, membuatku dapat melihat kedua bola mata itu dengan lebih jelas dan dekat. Kedua bola mata itu bukan hanya membesar, namun berputar-putar dan bersinar.


Aku tidak punya pilihan lain. Kedua bola mata itu mengancamku tanpa ampun. Aku tidak kuat lagi. Ini adalah sebuah serangan, dan aku memiliki hak penuh untuk membela diri. Dengan berhati-hati, aku mengambil pisau pencukur alis yang selalu kusiapkan di tasku dan menggoreskannya dalam-dalam terhadap kedua bola matanya. Setelah beres, aku menghela napas dalam-dalam. Akhirnya aku dapat menonton film dengan tenang, tanpa teror yang telah sekian lama dipancarkan oleh tatapannya.


F.S.


Recent Posts

See All
Kepalaku Meledak

Kupikir kepalaku akan meledak. Benar. Di ketinggian lebih dari 35.000 kaki ini kepala dan telingaku sakit bukan main. Ada sesuatu yang...

 
 
 
Pilihanku

Semua indra tertuju kepada mereka yang melangsungkan debat di ruangan ini. Di benakku, suara pemikiran ini terdengar jauh lebih lantang...

 
 
 

Comments


Terima kasih telah mengunjungi website kami. 

Bantu Apakah menjadi lebih baik lagi dengan mengisi kolom saran di bawah ini.

Thanks for submitting!

© 2019 by Sanggar Kesenian Apakah.

bottom of page