Pilihanku
- Aksara Jiwa
- Feb 24, 2020
- 4 min read
Updated: Feb 25, 2020
Semua indra tertuju kepada mereka yang melangsungkan debat di ruangan ini. Di benakku, suara pemikiran ini terdengar jauh lebih lantang dibandingkan empat mahasiswa baru di depan kelas yang saling beradu bahasa tersebut. Kupeluk erat kedua lututku sembari meringkuk duduk mendengarkan argumen di depan dan kuletakkan kepalaku di atasnya sambil menengok ke teman di sebelahku dan berbisik, “ I’m in a huge moral dilemma ”.
Aku dengan sengaja mengabaikan 33 panggilan masuk di telepon genggamku karena aku belum siap untuk menentukan pilihan antara tetap berkuliah disini di perguruan tinggi pilihan ku atau kembali ke ibukota menunaikan janjiku untuk berkuliah di perguruan tinggi pilihan ayahku sekiranya aku diterima. Tanpa perlu untuk berpikir panjang lebar, tentu saja aku sudah tahu bahwa puluhan panggilan masuk tersebut menyiratkan aku diterima di universitas ternama pilihan ayahku tersebut. Ia dengan penuh semangat memintaku untuk segera memesan tiket kembali ke Jakarta sore itu juga. Tidak sabar untuk menyaksikan aku mengenakan almamater yang sama dengannya dan berdiri di balairung bersama dengan rekan-rekan dosennya.
Tapi aku di sini, belum mau berpisah dari kota ini dan teman-teman yang baru aku dapatkan. Dua malam sunyi aku habiskan dalam pemikiran panjang. Mengulur-ulur waktu untuk pulang dengan alasan “acara disini belum selesai” rupanya berhasil menenangkan sebagian dambaan ayahku menunggu putri kecilnya kembali. Pendapat kedua, ketiga, dan keempat yang aku terima semakin membuatku bingung. Kabar bahwa banyak yang bernasib sama denganku dan memilih untuk pergi sungguhlah tidak membantu gelisah dilemaku ini. Tapi satu hal yang pasti, aku benar tidak menyukai ide bahwa aku harus menjalani 2 masa orientasi di dua universitas berbeda. Ya kali dua kali ospek bambank. Lelah dong.
Terlarut dalam kegelisahan antara mewujudkan ambisi sendiri atau ambisi sang sponsor pendidikanku ini mulai melemahkanku. Aku pun terjatuh sakit dalam kekeliruan bahwa ayahku tidak mendukung pilihanku sepenuhnya. Suara mesin pendingin ruangan yang bertiup sungguh kencangnya menemani proses dalam pengambilan keputusan besar pertamaku di kota Jogja ini. Apakah aku akan menjadi anak durhaka jika mengingkari perjanjian dengan ayahku atau haruskah aku percaya dengan pilihan hati?
Berbagai pemikiran seperti, “tidak mungkin seseorang durhaka kepada ayah yang meninggalkan anaknya terlebih dahulu” telah aku pertimbangkan dan aku jadikan justifikasi atas sikapku ini. Perlu aku tekankan bahwa sejujurnya kedua perguruan tinggi dalam opsiku ini sungguhlah perguruan tinggi yang sama gengsinya dimataku. Mungkin perlu juga aku ceritakan ambivalensi yang aku lalui saat tahu ayahku dengan bangga ingin ‘menolong’ agar dapat diterima di perguruan tinggi tersebut. Tentu aku memahami bagian “ he was doing me a favour” tapi secara tidak langsung terdapat juga anggapan bahwa aku tidak bisa masuk dengan usahaku sendiri. Tidak banyak yang menentangku karena membesarkan perkara ini. Lagipula, aku termasuk golongan orang-orang naif yang masih mempunyai harga diri dan mujurnya selalu berada di sekeliling mereka yang berpola pikir serupa. Akulah yang selama ini terkutuk berada di bayang-bayang sosok besar yang tidak bermoral. Walaupun harus aku akui aku pernah sesekali menjual nama ayahku untuk kepentingan tertentu, ia
masih bukan pribadi baik yang layak dan pantas mendikte jalan hidupku. Berbagai gelar dan perpustakaan kecil yang dibangunnya sudah tidak bernilai lagi karena sikap biadab yang diilustrasikannya. Hilang segan dan rasa hormat yang dibawanya setelah semua pelecehan emosional yang ia terpa. Akupun berdiskusi dengan kakakku dan menyimpulkan semua yang kami derita dengan pertanyaan,“Seberapa busuk seorang anak agar dapat dicap sebagai durhaka kepada orang tua yang sudah begitu bejatnya ?” Belajar dari kakekku dan kata-kata bijaknya, “ada prasyarat agar anak dapat dikatakan durhaka dan prasyarat itu adalah orang tua tersebut haruslah berakhlak baik” berhasil mengheningkan bising di kepalaku agar tidak terlalu khawatir dengan paksaan yang aku terima untuk kembali ke universitas yang bukan pilihanku. Dalam tenang, aku kembali ke pangkuan ibuku yang penuh dengan peluh datang memenuhi panggilan sebagai life support system-ku.
Bukan sesuatu yang mengejutkan ketika aku memutuskan untuk dengan preferensi ku sendiri akan sungguh disesalkan oleh ayahku. Berbagai jalan ia lakukan untuk merubah pikiranku. Janji-janji manis namun seperti kentut yang tidak bisa dipegang dipikirnya dapat membeliku seperti ia dapat membeli dan mencurangi kemapanan-nya dan mereka yang menjadi korban kelicikannya. Ketahuilah aku mengenal ayahku dengan segala trik di dalam bukunya seperti membalikkan telapak tangan. Ia mencoba menekankan ajaran bahwa kelak profesi di bidang dan perguruan tinggi yang aku pilih ini akan menggiringku ke neraka membuatku sadar bahwa ia kelewat desperate u ntukku mengikuti kemauannya. Inilah momen dimana aku dapat menentang ayahku dengan alasan jelas sementara ia dengan argumennya yang tidak masuk akal bagaikan sebuah jackpot penuh dengan kemirisan. I mean, come on, really? Trying to convince me that my choice is no better than yours because I would end up in hell? That is pathetic and simply disgraces all your academic attributes.
Jujur aku sangatlah tidak siap dalam mengambil keputusan sebesar ini karena di dalam benakku, aku tidak mungkin secemerlang itu untuk diterima di kedua perguruan tinggi bergengsi tersebut. Entah kenapa peluhku seakan mengabaikan dinginnya pendingin ruangan ini dan tanganku terasa basah karena pemikiran ini nampaknya memakan habis jasadku.
Ditambah lagi, aku pun belum siap menerima fakta bahwa sebenarnya aku diterima di universitas pilihan ayahku karena kompetensi ku sendiri dan bukan karena bantuan koleganya seperti yang telah digambarkan oleh ayahku. Sosok di dalam cermin pagi ini meyakinkanku akan hal ini. Kantung mata dan jerawat di dahi menunjukkan bahwa aku sudah bekerja dengan keras dan I actually earned it. Not because of the help from him nor his colleagues. But because I’m an amazing person.
Rasa ingin melawan sang ayah dan mau membuktikan padanya bahwa aku tidak bisa diremehkan tampaknya menyita perhatianku akan sebuah fakta penting. Yaitu, banyak yang berkata jika aku kurang bersyukur atas hal yang telah aku terima. Maka idealnya, aku harus menuruti keinginan orang tua. Tetapi apa gunanya memaksakan sesuatu yang pada akhirnya bukanlah passionku
Dengan seksama aku meraih telepon genggamku, mengangkat kakiku ke atas meja belajar dan berkata dengan lantang, “Ayah, aku bisa mencoba pilihanmu karena aku menghargai usahamu. Tapi saat ini aku tidak akan melakukan itu karena aku tidak mungkin bahagia dengan pilihanmu dan aku ingin bertanggung jawab penuh atas pilihanku.”
Asa
Comments