Kepalaku Meledak
- Sanggar Apakah
- Feb 25, 2020
- 4 min read
Kupikir kepalaku akan meledak.
Benar. Di ketinggian lebih dari 35.000 kaki ini kepala dan telingaku sakit bukan main. Ada sesuatu yang tak seharusnya berada di dalam kepalaku. Entah di mana letak pastinya, tapi sesuatu itu ada di balik tengkorakku, merayap menyelimuti otakku.
Bahkan bisa kurasakan lubang-lubang bermunculan di dahiku, memaksa tengkorakku membukakan jalan keluar agar kepalaku tidak meledak. Tapi sepertinya sia-sia, lubang-lubang itu tidak berguna, hanya menambah perih saja, apapun yang bersarang dalam kepalaku kini, tidak mau keluar.
Tak kuhabiskan delapan belas tahun hanya untuk terledaknya kepala di dalam pesawat. Mana rela,
mana sudi.
Entah sejak kapan kepalaku memiliki sumbu, tapi kupikir sudah sejak lama, namun tidak lama-lama amat juga sampai aku tidak menyadarinya. Tapi setelah kupikir lagi, sebenarnya sumbu itu sudah ada sejak aku pun ada. Ujungnya sudah terbakar sejak aku bisa berpikir. Dan terus menerus terbakar seiring sel-sel di otakku beregenerasi setiap detiknya. Yang artinya, semakin sering aku berpikir, semakin cepat pulalah sumbu itu terbakar.
Lalu, sudah bisa ditebak bahwa sumbu kepala ini sudah sampai pada ujungnya. Tanpa ada peringatan atau pertanda apapun, rasa sakit langsung menyerang kepalaku. Awalnya hanya denyut tidak mengenakkan, namun lama kelamaan semakin intens.
Huruf-huruf yang tercetak menjadi kabur. Buku yang sedang kubaca tertutup di pangkuan, tak sanggup kubaca di bawah pengaruh rasa sakit yang mendera. Lagipula aku tak mau tahu kelanjutannya.
Apa yang menjadi pemicunya? Tentu saja pemikiran-pemikiran yang menyarang dalam otak.
Pikiran-pikiran itu seolah telah menjadi nyata, bermanifestasi berwujud air mendidih, yang menggelegak dan meletup-letup di balik tempurung kepalaku. Apakah kepalaku mengeluarkan asap? Aku tidak tahu, tidak bisa terlihat.
Sementara aku bergelut dengan rasa sakit, kondisi di sekelilingku tidak ada yang berubah. Mereka tidak sadar? Sepertinya. Aku mengaduh tanpa suara, benar-benar tak ingin menimbulkan kepanikan. Tapi ketika tiba waktunya kepalaku untuk meledak, minimal ada satu dua jeritan lah.
Kulirik ke samping, anak perempuan di sebelahku sedang asyik membaca buku bergambar, sesekali terkikik pelan. Ia tidak sadar. Lalu aku melirik ke arah sebaliknya, seorang wanita tua yang duduk berbeda baris denganku. Mengejutkannya, kami bertatapan. Ia menatapku dan aku menatapnya.
Namun ia hanya melihatiku selama beberapa detik, seolah bimbang ingin melakukan sesuatu atau tidak. Setelah beberapa detik yang singkat, wanita tua itu mengalihkan atensinya, kembali menghadap ke depan.
Jika kepalaku benar-benar meledak, hal terakhir yang ingin kulakukan sebelum terjadi adalah mengutuk pikiran-pikiran sial ini. Tanpa mereka, kepalaku masih utuh. Tidak sempurna, namun utuh.
Namun apa dayaku menghalau pikiran yang membanjir? Selama otakku eksis dan berfungsi
sebagaimana semestinya?
Peluh menetes semenjana kubuka laci-laci memoriku, mencoba memahami apa yang memicu rasa sakit ini. Mencari pikiran macam apa yang menarik pelatuk dari dalam kepalaku.
Belum ada lima menit sejak sumbu di kepalaku habis terbakar. Namun sepertinya aku sudah melupakannya, tidak bisa kuingat. Sebab rasa sakit ini semakin menjadi-jadi, merongrong kepalaku tanpa ampun.
Kuhujamkan jariku pada pegangan kursi pesawat. Warna birunya sudah pudar, senada dengan kursi yang kududuki pun 300an kursi lain di kabin ini. Lalu, sekonyong-konyong aku sadar. Untuk apa aku berada di sini? Untuk apa aku menaiki pesawat ini?
Apakah aku pergi? Ataukah aku pulang?
Aku ingat, aku pergi. Pergi meninggalkan keluargaku.
Jika kupikir-pikir lagi (dengan kepala yang belum meledak ini) setiap orang pasti pernah merasakan kepala mereka meledak paling tidak sekali dalam seumur hidup. Tidak ada manusia yang tak punya pikiran, bahkan orang apatis sekalipun. Pengecualiannya, ya, mungkin untuk orang gila.
Apa aku pernah menyaksikan kepala seseorang meledak? Tidak juga. Tapi aku tahu, entah darimana kudapat pengetahuan ini, seolah turun begitu saja tanpa ada perantara, bagaikan wahyu. Sumbu setiap orang berbeda-beda, dan pelatuk mereka pun beragam wujudnya, tapi ledakan itu tak bisa dihindari. Datangnya begitu pasti bagaikan kematian, kuposisikan ledakan itu. Sesuatu yang tak masuk akal namun nyata adanya. Pasti suatu saat pikiran mereka akan membludak, otak mereka menjadi merah karena digoreng, lalu
meledaklah.
Sekeras apapun aku mengingat, sejauh manapun aku menggali, tak ada sosok orang tua dalam memori masa kecilku. Memori paling awal yang bisa kuingat; sosokku yang menangis menolak masuk taman kanak-kanak pada tahun ajaran baru. Tidak bersama kedua orang tua.
Tidak, tidak. Mungkin sekarang ini aku pergi, tapi sejak orok, atau entah berapa usiaku saat itu, aku yang ditinggalkan terlebih dahulu. Terpisah jarak ribuan kilometer melewati lautan, cukup jauh, eh? Karena aku masih kecil dan tidak ingat, mungkin aku tidak merasakan apa-apa, tapi pasti lain halnya dengan kalian, bukan?
Dan selama ini, aku berpikir banyak hal, memerpendek sumbu kepalaku, tentang hal-hal yang seharusnya bisa kulakukan dan hal-hal yang seharusnya tidak kulakukan. Jika aku berada di sana bersama kalian, akankah aku menjadi aku yang berbeda? Aku yang sekarang adalah aku yang berada di sini, bukan di sana. Jika dulu aku berada di sana, aku yang sekarang tidak akan ada.
Namun setengah dari diriku bersangka sebaliknya. Selayaknya biji apel, jika ditanam yang tumbuh adalah pohon apel, bukan jeruk apalagi durian. Tak ada pengaruhnya aku di sini maupun disana, karena aku adalah aku sejak awal. Aku hanya satu, tidak ada versi lain diriku dalam dimensi manapun.
Ini dia, batinku nelangsa, pikiran rumit yang meledakkan kepalaku. Bangsatlah, sudah tahu punya batasan, pikiran itu kubiarkan mengembara bebas.
Kepalaku makin sakit. Dahiku yang berlubang-lubang kini serasa ditusuk-tusuk jarum, rasanya kebas dan panas, seolah benar-benar ada percik-percik api dari dalamnya. Telingaku berdering hebat, sesuatu yang ada di kepalaku sepertinya mencoba keluar melalui saluran telinga juga.
Aku panik. Tentu saja aku panik. Kalau kepalaku meledak tentu saja aku takkan bisa pulang karena tak lagi punya mata. Orang-orang akan bertanya di mana kepalaku. Pertanyaan yang tak bisa kujawab karena aku tak lagi punya otak untuk berpikir, tak lagi punya mulut menjawab. Tapi, bahkan aku tak lagi punya telinga untuk mendengar, lalu darimana bisa kudengar pertanyaan itu?
Aku menjadi manusia tanpa emosi. Manusia kosong seperti selongsong peluru yang baru saja ditembakkan, terjatuh berdenting di lantai, tak berguna.
Akankah tubuhku ambruk dan tak bergerak lagi layaknya boneka kain yang diputus talinya? Atau malah berkeliaran tak tentu arah tanpa adanya akal sehat yang mengekangnya?
Yang manapun terserah saja! Aku tak akan tahu, karena aku tak punya kepala!
Dan pada akhirnya, kepalaku benar-benar meledak.
Seharusnya aku membawa penutup telinga.
Oh, ternyata kepalaku tumbuh lagi.
C.S
Comments